Cahaya Di Atas Cahaya

Allah an-Nur (Yang Maha Bercahaya) Allah nurrun 'ala Nurrin (Cahaya di Atas cahaya).
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Salah satu makna dari ayat di atas adalah bahwa Allah merupakan sumber cahaya, sumber energi langit dan bumi. Segala benda dan makluk yang berada di langit dan bumi ADA karena keberadaan sumber energi ini. Segalanya menjadi tampak karena memperoleh cahaya dari sumber cahaya ini. Bila itu tiada, maka yang ada hanyalah kegelapan dan ketidaknampakkan apapun.
Allah SWT merupakan wujud tunggal yang menjadi Terawal dari kehidupan dan yang Terakhir tinggal, abadi saat seluruh kehidupan itu tiada. Semua bersumber padaNya, tersusun dari cahayaNya, berproses ke dalam bentuk unsur lain yang lebih padat daripada cahaya. Keseluruhan itu semata-mata adalah pengejawantahan wujud Allah dalam kehidupan yang tak abadi.
Pada hakikatnya seluruh kehidupan itu adalah hampa adanya, ketiadaan.
“adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan ini, berdiri sendiri sekehendak.” [siti jenar].
Ini menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu cultural maupun belenggu structural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antarmanusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Sebab dalam manusia ada ruh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan Allah itu satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja.
QS Al Baqarah [2] ayat 115 : “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka kemana saja kamu menghadap disitulah Wajah Allah.” Wujud itu dalam pribadi [ruh], dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi [ruh] untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya, mengelola keinginan jasad, sementara pribadi [ruh] tetap suci.
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehinga akibat terpecahnya jiwa dengan ruh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam Al Quran disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi perpecahan kepribadian atau kepribadian ganda, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara ruh ilahi dengan jiwa manusia atau budi manusia. Ruh Ilahi berada di dalam kedirian manusia, bukan diluar diri manusia.
Tuhan adalah Maha Meliputi. KeberadaanNya tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, kegaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaanNya. Oleh karena itu keberadaan segala sesuatu dihadapanNya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu termasuk kedirian manusia atau keberadaan manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai sesuatu yang baru, dalam arti tidak mengikuti iradahNya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi ruh Ilahi, sebab raga hanyalah sebagai tempat/wadah bagi keberadaan ruh itu. Jangan terjebak hanya menghiasai wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah itu.
Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan sesuatu yang gaib bagi diri manusia. Walaupun Allah SWT adalah Maha Ghaib [Al Ghaib], namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secarah ruhiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat ruh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampiriNya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God Spot [titik Tuhan] sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistic dan matematis. Inilah titik spritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui ruh al-idhafi. Dari system kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya."
wallahu'alam.

Komentar

Postingan Populer